Thursday, October 8, 2009

Miniatur ondel-ondel cenderamata khas jakarta


Secara harfiah bentuk ondel-ondel aslinya adalah berupa boneka besar yang tingginya sekitar +/- 2,5 m dengan garis tengah +/- 80 cm, terbuat dari anyaman bambu yang dibentuk begitu rupa sehingga mudah dipikul karena ondel-ondel digerakan oleh orang yang berada didalamnya. Bagian wajah berupa topeng atau kedok, dengan rambut kepala terbuat dari ijuk. Wajah ondel-ondel laki-laki di cat warna merah, sementara ondel-ondel perempuan dicat dengan warna putih.

Di arena Jakarta Fair Kemayoran 2009 anda pun akan dapat melihat bahkan membeli ondel-ondel itu. Namun ondel-ondel ini berbentuk mini karena terbuat dari kayu. Berada di hall B stand dari Dinas Sosial DKI Jakarta ini menampilkan berbagai kerajinan tangan hand made yang dikerjakan oleh saudara kita yang memiliki keterbatasan. Berupa ondel-ondel mini dengan berbagai gaya dijual dengan harga @ Rp 5.000 sampai @ Rp 135.000.

http://www.jakartafair.biz/index.php?mid=388&lvl=2

Lagu Adat Betawi

JALI-JALI

ini dia si jali-jali
lagunya enak lagunya enak merdu sekali
capek sedikit tidak perduli sayang
asalkan tuan asalkan tuan senang di hati

palinglah enak si mangga udang
hei sayang disayang pohonnya tinggi pohonnya tinggi buahnya jarang
palinglah enak si orang bujang sayang
kemana pergi kemana pergi tiada yang m'larang

disana gunung disini gunung
hei sayang disayang ditengah tengah ditengah tengah kembang melati
disana bingung disini bingung sayang
samalah sama samalah sama menaruh hati

jalilah jali dari cikini sayang
jali-jali dari cikini jalilah jali sampai disini



KICIR-KICIR
kicir kicir ini lagunya
lagu lama ya tuan dari jakarta
saya menyanyi ya tuan memang sengaja
untuk menghibur menghibur hati nan duka

burung dara burung merpati
terbang cepat ya tuan tiada tara
bilalah kita ya tuan suka menyanyi
badanlah sehat ya tuan hati gembira

buah mangga enak rasanya
si manalagi ya tuan paling ternama
siapa saja ya tuan rajin bekerja
pasti menjadi menjadi warga berguna


http://www.tembang.com/





Bahasa Betawi

Bahasa Betawi atau Melayu Dialek Jakarta atau Melayu Batavia (bew) adalah sebuah bahasa yang merupakan anak bahasa dari Melayu. Mereka yang menggunakan bahasa ini dinamakan orang Betawi. Bahasa ini hampir seusia dengan nama daerah tempat bahasa ini dikembangkan, yaitu Jakarta.

Bahasa Betawi adalah bahasa kreol (Siregar, 2005) yang didasarkan pada bahasa Melayu Pasar ditambah dengan unsur-unsur bahasa Sunda, bahasa Bali, bahasa Jawa, bahasa dari Cina Selatan (terutama bahasa Hokkian), bahasa Arab, serta bahasa dari Eropa, terutama bahasa Belanda dan bahasa Portugis. Bahasa ini pada awalnya dipakai oleh kalangan masyarakat menengah ke bawah pada masa-masa awal perkembangan Jakarta. Komunitas budak serta pedagang yang paling sering menggunakannya. Karena berkembang secara alami, tidak ada struktur baku yang jelas dari bahasa ini yang membedakannya dari bahasa Melayu, meskipun ada beberapa unsur linguistik penciri yang dapat dipakai, misalnya dari peluruhan awalan me-, penggunaan akhiran -in (pengaruh bahasa Bali), serta peralihan bunyi /a/ terbuka di akhir kata menjadi /e/ atau /ɛ/ pada beberapa dialek lokal.

Di bawah ini adalah beberapa kata dalam Bahasa Betawi dan artinya dalam bahasa Indonesia:

  • siape = siapa
  • ape = apa
  • ade = ada
  • aye = saya
  • aje = saja
  • Jakarte = Jakarta
  • pastinye = pastinya
  • katanye = katanya
  • gile = gila
  • ke mane = ke mana
  • di mane = di mana
  • sigit = masjid (berasal dari kata masigit dalam bahasa Sunda)

Tokoh

Tokoh-tokoh bahasa Betawi modern:

  • Firman Muntaco, yang terkenal dengan cerpen/artikel di koran tahun 1960an s/d 1980an
  • Ganes T.H., yang terkenal dengan komik "Si-Jampang: Jago Betawi" yang isinya berbahasa betawi, tahun 1965an
  • Benyamin Sueb, yang terkenal memainkan film-film yang bergenre "bahasa Betawi", tahun 1970an
  • Syumanjaya, yang terkenal sebagai sutradara film "Si Doel: Anak Betawi", tahun 1970an

Bacaan

Semua tokoh diatas menyumbang SASTRA BARU, yaitu "Sastra Betawi" (Betawi Literature). Jadi tokoh sastra akademis yang berjuang bagi "Sastra Betawi" adalah:

  • Muhadjir (1979 dan 2002)
  • K. Ikranegara (1980). Melayu Betawi Grammar. Linguistic Studies in Indonesian and Languages in Indonesia 9. Jakarta: NUSA.
  • S. Wallace (1976). Linguistic and Social Dimensions of Phonological Variation in Jakarta Malay. PhD. Dissertation, Cornell University.
  • Klarijn Loven (2009). Watching Si Doel: Television, Language and Cultural Identity in Contemporary Indonesia, 477 halaman, ISBN-10: 90-6718-279-6. Penerbit: The KITLV/Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies at Leiden.
  • Lilie M. Roosman (April 2006). Lilie Roosman: Phonetic experiments on the word and sentence prosody of Betawi Malay and Toba Batak, Penerbit: Universiteit Leiden

Buku-buku yang menjadi pastokan "Sastra Betawi" adalah:

Acara televisi

Acara TV (Televisi) yang menjadi pastokan "Sastra Betawi" adalah:

Program JAK-TV (BANDAR-JAKARTA)

http://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa_Betawi

Tradisi Betawi : Nujuh Bulan

Bila ada seorang ibu yang sedang hamil dan kehamilan tersebut memasuki bulan yang ketujuh maka diadakan kenduri mengundang kerabat atau tetangga. Kenduri ini umumnya dilakukan pada masa kehamilan anak pertama dan pada tanggal yang mengandung unsur angka 7 yaitu tanggal 7,17 atau 27 pada bulan ketujuh masa kehamilan tersebut.


Nujuh Bulan ini bernuansa Islam, oleh sebab itu dalam Nujuh Bulan ini dilakukan pembacaan tahlil. Dalam kenduri ini dibacakan surat Yusuf, surat Mariam dan Surat Ar-Rahman. Ketiga surat ini dibacakan oleh tujuh orang pada waktu yang bersamaan sedangkan orang yang lain yang datang pada kenduri ini membaca surat-surat pendek lainnya. Setelah pembacaan ketiga surat itu, baru dilanjutkan dengan tahlilan bersama-sama. Nujuh Bulan ini mempunyai tujuan sebagai ucapan rasa syukur kepada Allah SWT atas peristiwa penting dalam kehidupan perempuan dewasa yang sedang hamil yang kelak nantinya ia akan menjadi seorang ibu, atau syukur terhadap anugrah berupa kehamilan istri atau karunia akan didapatkan ananda tercinta.

Dalam Nujuh Bulan ini selalu ada rujakan. Rujak ini terdiri dari tujuh macam buah-buahan, buah delima merupakan buah pokok dalam rujakan ini sedangkan campuran buah lainnya yang sering digunakan adalah, kelapa muda, jeruk bali, anggur, apel, nanas, mangga atau bisa juga diganti dengan buah yang lainnya.

http://budaya-betawi.blogspot.com/2008/02/nujuh-bulan.html

Ondel-ondel kerajinan tangan betawi


Ondel-ondel merupakan hasil dari kebudayaan Betawi yang berupa boneka besar yang tingginya mencapai sekitar ± 2,5 m dengan garis tengah ± 80 cm, boneka ini dibuat dari anyaman bambu yang dibuat agar dapat dipikul dari dalam oleh orang yang membawanya. Boneka tersebut dipakai dan dimainkan oleh orang yang membawanya. Pada wajahnya berupa topeng atau kedok yang dipakaikan ke anyaman bamboo tersebut, dengan kepala yang diberi rambut dibuat dari ijuk. Wajah ondel-ondel laki-laki biasanya di cat dengan warna merah, sedangkan yang perempuan dicat dengan warna putih.

Jenis pertunjukan ini diduga sudah ada sebelum tersebarnya agama Islam di pulau Jawa dan juga terdapat di berbagai daerah dengan pertunjukkan yang sejenis. Di Pasundan dikenal dengan sebutan Badawang, di Jawa Tengah disebut Barongan Buncis, sedangkan di Bali dikenal dengan nama Barong Landung.

Awal mulanya pertunjukan ondel-ondel ini berfungsi sebagai penolak bala dari gangguan roh halus yang mengganggu. Namun semakin lama tradisi tersebut berubah menjadi hal yang sangat bagus untuk dipertontonkan, dan kebanyakan acara tersebut kini di adakan pada acara penyambutan tamu terhormat, dan untuk menyemarakkan pesta-pesta rakyat serta peresmian gedung yang baru selesai dibangun.

Disamping untuk memeriahkan arak-arakan pada masa yang lalu biasa pula mengadakan pertunjukan keliling, “Ngamen”. Terutama pada perayaan-perayaan Tahun Baru, baik masehi maupun Imlek. Sasaran pada perayaan Tahun Baru Masehi daerah Menteng, yang banyak dihuni orang-orang Kristen.Pendukung utama kesenian ondel-ondel petani yang termasuk “abangan”, khususnya yang terdapat di daerah pinggiran kota Jakarta dan sekitarnya.

Musik yang mengiringi ondel-ondel tidak tertentu, tergantug dari asing-masing rombongan. Ada yang diiringi tanjidor, seperti rombongan ondel-ondel pimpian Gejen, kampong setu. Ada yang diiringi dengan pencak Betawi seperti rombongan “Beringin Sakti” pimpinan Duloh, sekarag pimpinan Yasin, dari Rawasari. Adapula yang diirig Bende, “Kemes”, Ningnong dan Rebana ketimpring, seperti rombogan ondel-ondel pimpinan Lamoh, Kalideres. Ondel-ondel betawi tersebut pada dasarnya masih tetap bertahan dan menjadi penghias di wajah kota metropolitan Jakarta.

http://www.swaberita.com/2008/05/27/nusantara/ondel-ondel-betawi.html

Senjata Tradisional betawi

  • Rotan

Rotan adalah jenis senjata tradisional Betawi yang digunakan pada permainan Seni Ketangasan Ujungan, termasuk kategori senjata alat pemukul. Disinyalir dari Seni Ujungan inilah awal beladiri berkembang. Pada masa awal terbentuknya Seni Ketangkasan Ujungan, rotan yang digunakan mencapai panjang 70-100cm. Pada ujung rotan disisipkan benda-benda tajam seperti paku atau pecahan logam, yang difungsikan untuk melukai lawan.

Pada perkembangannya rotan yang digunakan hanya berkisar 70-80cm, selanjutnya paku dan pecahan logam di ujung rotanpun tidak lagi digunakan untuk pertandingan yang sifatnya hiburan, rotan jenis ini dipakai hanya ketika berperang menghadapi musuh sesungguhnya. Tubuh lawan yang menjadi sasaranpun dibatasi hanya sebatas pinggang ke bawah, utamanya tulang kering dan mata kaki.

  • Punta

Punta adalah senjata tajam jenis tusuk, dengan panjang sekitar 15-20cm. Senjata ini lebih berfungsi sebagai senjata pusaka yang menjadi simbol strata sosial pada waktu itu, karena senjata tajam ini tidak pernah digunakan untuk bertarung. Di Jawa Barat mungkin dikenal sebagai Kujang, namun Kujang lebih variatif dari segi bentuk dan motif ciung.

  • Beliung Gigi Gledek

Beliung adalah sejenis kapak dengan mata menyilang kearah gagang pegangan, umumnya digunakan sebagai perkakas untuk membuat kayu. Beliung Gigi Gledek merupakan jenis kapak dengan mata kapak terbuat dari batu, merupakan teknik pembuatan senjata sisa peninggalan zaman batu baru di Betawi yang masih tersisa antara abad 1-3M. Beberapa tokoh yang diketahui pernah menggunakan ini sebagai senjata andalannya adalah Batara Katong (Wak Item) dan Salihun pemimpin kelompok Si Pitung. Beliung digunakan Salihun sebagai sarana dalam melakukan aksi perampokan maupun pelarian dengan memanjat pagar tembok.

  • Cunrik (Keris Kecil Tusuk Konde)

Cunrik merupakan senjata tradisional para perempuan Betawi, biasa digunakan oleh para resi perempuan yang tidak ingin menonjolkan kekerasan dalam pembelaan dirinya, terbuat dari besi kuningan dengan panjang kurang dari 10cm. Salah seorang resi perempuan yang terkenal menggunakan cunrik ini adalah Buyut Nyai Dawit, pengarang Kitab Sanghyang Shikshakanda Ng Karesiyan (1518). Dimakamkan di Pager Resi Cibinong.

Senjata Tradisional Betawi yang dipakai dalam Maenpukulan

  • Kerakel (Kerak Keling) / Blangkas

Kerakel (Kerak Keling) merupakan jenis senjata pemukul, merupakan perkembangan dari senjata rotan Ujungan. Orang Betawi Rawa Belong lebih mengenalnya dengan sebutan Blangkas.

Batang pemukul pipih memiliki panjang lebih pendek dari rotan (40-60cm), terbuat dari hasil sisa pembakaran baja hitam (kerak keling) yang dicor. Ujung gagang lancip yang difungsikan juga sebagai alat penusuk. Pada gagang dibuat lebih ringan dengan bahan terbuat dari timah. Agar tidak licin para jawara zaman dulu melapisinya dengan kain. Sekilas bentuk Kerakel mirip dengan Kikir, sejenis perkakas yang difungsikan sebagai pengerut besi.

Pada akhir abad 17 orang-orang peranakan cina di luar kota memodifikasi kerakel menjadi sebuah bilah dengan dua mata tajam, di sebut Ji-Sau (Ji, berarti dua-Sau, berarti bilah). Seiring dengan perkembangan waktu, lidah masyarakat Betawi memetaforkan kata ji-sau menjadi pi-sau, sekalipun pi-sau hanya bermata satu.

  • Golok

Golok merupakan jenis senjata tajam masyarakat Melayu yang paling umum ditemukan, walaupun dengan penamaan yang berlainan berdasarkan daerahnya. Sebagian besar masyarakat di pulau Jawa sepakat menamakan senjata tajam jenis “bacok” ini dengan golok.

Pada masyarakat Betawi keberadaan golok sangat dipengaruhi kebudayaan Jawa Barat yang melingkupinya. Perbedaan diantara keduanya dapat dilihat dari model bentuk dan penamaannya, sedangkan kualitas dari kedua daerah ini memiliki kesamaan mengingat kerucut dari sumber pande besi masyarakat Betawi mengacu pada tempat-tempat Jawa Barat, seperti Ciomas di Banten dan Cibatu di Sukabumi.

  • - Golok Gobang

Golok Gobang, adalah golok yang berbahan tembaga, dengan bentuk yang pendek. Panjang tidak lebih dari panjang lengan (sekitar 30cm) dan diameter 7cm. Bentuk Golok Gobang yang pada ujung (rata) dan perut melengkung ke arah punggung golok, murni digunakan sebagai senjata bacok. Di Jawa Barat model Golok Gobang ini dinamakan Golok Candung. Bentuk gagang pegangan umumnya tidak menggunakan motif ukiran hewan, hanya melengkung polos terbuat dari kayu rengas. Masyarakat Betawi tengah menyebutnya dengan istilah “Gagang Jantuk”.

Bilah golok gobang polos tanpa pamor atau wafak yang umum dipakai sebagai golok para jawara, dengan diameter 6cm yang tampak lebih lebar dari golok lainnya

  • - Golok Ujung Turun

Golok jenis ini adalah golok tanding dengan ujung yang lancip, panjang bilah sekitar 40cm, dengan diameter 5-6cm. Umumnya golok Ujung Turun ini menggunakan wafak pada bilah dan motif ukiran hewan pada gagangnya. Gagang dan warangka golok lebih sering menggunakan tanduk, hal ini dimaksudkan sebagai sarana mengurangi beban golok ketika bertarung. Di Jawa Barat golok jenis ini merupakan perpaduan antara jenis Salam Nunggal dan Mamancungan.

  • - Golok Betok & Badik Badik

Golok Betok adalah golok pendek yang difungsikan sebagai senjata pusaka yang menyertai Golok Jawara, begitupun Badik Badik yang berfungsi hanya sebagai pisau serut pengasah Golok Jawara. Kedua senjata tajam ini digunakan paling terakhir manakala sudah tidak ada senjata lagi di tangan.

Siku

Orang Betawi menyebutnya sebagai Siku, karena bentuknya yang terdiri dari dua batang besi baja yang saling menyiku atau menyilang. Ujung tajam menghadap ke lawan. Dalam setiap permainan siku selalu digunakan berpasangan. Dalam istilah lain senjata tajam jenis ini disebut Cabang atau Trisula.

http://silatindonesia.com/2008/07/senjata-tradisional-betawi/

Pakaian Tradisional Betawi


Beberapa contoh busana tradisional Betawi.
Liputan6.com, Jakarta: Tampilan busana khas Betawi kaya akan nuansa warna dan ragam. Lihat saja, keanekaragaman motif batik tradisional yang kental nuansa Cina, Timur Tengah, dan Eropa. Memang, keberagaman itu terwujud dari akulturasi berbagai kebudayaan asing dan lokal. Bukti akulturasi itu bisa dilihat di Museum Tekstil di Jalan Petamburan Nomor 4 Tanah Abang, Jakarta Pusat.

Menurut Kepala Seksi Edukasi Museum Tekstil Tukiran Effendi, masyarakat Betawi kerap menggunakan kain batik beraneka motif dari hasil akulturasi tersebut. Misalnya, pengaruh dari Cina, yaitu Buketan, Liong, Lokcan atau Burung Hong. Sementara motif kereta kuda atau binatang khas Eropa dengan warna biru menandai masuknya pengaruh Eropa. Sedangkan, kebaya Krancang atau terkenal disebut kebaya Encim, kebaya Enyak, baju Sadariah, dan baju Abang-None serta pakaian pengantin Betawi, mendapat pengaruh Timur Tengah.

Keunikan lain, lanjut Tukiran, warga Betawi, baik kalangan atas maupun bawah menggunakan motif yang sama. Hanya saja yang membedakan adalah pemilihan bahan batiknya. Untuk kalangan atas, umumnya terbuat dari bahan Mori halus Cap Sen. Sementara untuk kalangan bawah terbuat dari Mori kasar atau Belacu. Tak hanya itu, para pengunjung juga bisa melihat berbagai jenis alat permainan tradisional, seperti Yoyo, Ketapel, dan Gasing. Tak ketinggalan, satu perangkat alat masak dan peralatan nelayan tradisional bisa dilihat pengunjung museum.(ANS/Esther Mulyanie dan Soedjatmoko)

Wisata Situ Babakan

Wisata Situ Babakan

Situ Babakan adalah kawasan Cagar Budaya Betawi yang ditetapkan pemerintah DKI Jakarta, menggantikan kawasan Condet di Jakarta Timur yang dianggap sudah tidak relevan menyandang predikat Cagar Budaya Betawi karena perubahan fisik dan non-fisik kawasan yang sangat pesat.

Setelah gagal mempertahankan kawasan Condet di Jakarta Timur sebagai kawasan budaya Betawi--akibat ketidakjelasan dan ketidakonsistenan Pemda DKI melaksanakan rencananya--Pemda DKI pada 1 Juni 2001 kembali mencanangkan kawasan Perkampungan Budaya Betawi yang berlokasi di Situ Babakan, Srengseng Sawah, Jakarta Selatan. Pencanangan kampung Betawi itu dilakukan Gubernur DKI Sutiyoso bersamaan dengan dimulainya rangkaian peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-474 Jakarta.

Perkampungan Budaya Betawi Situ Babakan luasnya sekitar 165 hektar termasuk Situ Babakan dan Situ Mangga Bolong dengan batas fisik, bagian utara berbatasan dengan Jalan Moch Kahfi II; bagian timur berbatasan dengan Jalan Putera, Jalan Mangga Bolong Timur; bagian selatan berbatasan dengan Jalan Tanah Merah, Jalan Srengseng Sawah, Jalan Puskesmas; sementara bagian Barat berbatasan dengan Jalan Moch Kahfi II. Perkampungan ini terdiri dari empat rukun warga (RW) di mana sebagian besar warganya adalah orang asli Betawi yang sudah turun-temurun tinggal di daerah tersebut. Sebagian lagi berasal dari daerah lain, antara lain Jawa Barat dan Kalimantan yang sudah lebih dari 30 tahun tinggal di sana. Mereka bertahan hidup dengan budaya asli Betawi lengkap dengan dialek dan tradisi yang khas.

Lokasi Situ Babakan adalah di Kelurahan Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa, Kotamadya Jakarta Selatan.Lokasi ini dapat dicapai dari Jalan Srengseng Sawah maupun Jalan Moh.Kahfi II. Sebagian besar penduduknya adalah warga Betawi asli, di samping warga pendatang dari berbagai daerah Indonesia yang sudah lama diam di daerah tersebut dan beradaptasi dengan penduduk Betawi setempat.

Pemilihan Kampung Srengseng Sawah sebagai cagar budaya bukan tak beralasan. Kampung yang terletak di Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan--sekitar 20 kilometer dari pusat kota itu, memang masih kental dengan budaya Betawi. Bahkan, di kawasan Situ Babakan dan Situ Mangga Bolong, sejumlah penduduk asli Betawi telah turun-menurun tinggal di daerah tersebut dan hingga kini tetap menekuni profesi sebagai petani dan pedagang.

Tari Cokek Betawi

Dalam sejarah kesenian Betawi, Cokek merupakan salah satu hiburan unggulan. Selain luas penyebarannya juga dengan cepat banyak digemari masyarakat Betawi kota sampai warga Betawi pinggiran. Pada kurun waktu itu hampir tiap diselenggarakan pesta hiburan, baik perayaan perjamuan hajatan perkawinan hingga pesta pengantin sunat. Dan ragam acara yang bersifat pesta rakyat. Disanalah para penari Cokek mempertunjukan kepiawaiannya menari sambil menyanyi. Barangkali memang kurang afdol jika penari cokek sekadar menari. Karenanya dalam perkembangannya selain menari juga harus pintar olah vokal alias menyanyi dengan suara merdu diiringi alunan musik Gambang Kromong. Jadi temu antara lagu dan musik benar-benar tampil semarak alias ngejreng beeng.

Sayang sekali dalam buku “Ikhtisar Kesenian Betawi” edisi Nopember 2003 terbitan Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Propinsi DKI Jakarta, yang ditulis oleh H. Rachmat Ruchiyat, Drs. Singgih Wibisono dan Drs. H. Rachmat Syamsudin, tidak menyebutkan sejak kapan jenis tarian Cokek itu muncul ke permukaan. Tidak disebutkan pula secara jelas siapa tokoh atau pelaku pertama yang memperkenalkan tarian egal-egol sembari menggoyang-goyangkan pinggulnya yang kenes. Tentulah ada kegenitan lain yang dimunculkan oleh para penari tersebut untuk menarik lawan jenisnya, Ditambah kerlingan mata sang penari yang indah memikat para tamu lelaki untuk ikutan ngibing berpasangan di panggung atau pelataran rumah warga. Orang Betawi menyebut Tari Ngibing Cokek. Selama ngibing mereka disodori minuman tuak agar bersemangat. Mirip dengan Tari Tayub dari Jawa Tengah.

cokek1.jpgtari_cokek2.jpg

Tamu terhormat

Begitu indah dan familiarnya jenis tarian ini. Para penari wanita yang berdandan dan bersolek menor, wajahnya diolesi bedak dan bibir bergincu, ditambah aroma wewangin minyak cap ikan duyung. Pada tarian pembukaan para penari berjoget dalam posisi berjajar ke samping, mirip posisi jejer panggung kesenian Ketoprak Jawa. Mereka merentangkan tangan setinggi bahu, sambil melangkahkan gerak kaki maju-mundur diiringi lagu-lagu khas Gambang Kromong. Kemudian mereka mengajak menari kepada para tamu yang hadir dengan mengalungkan selendang. Penyerahan selendang biasanya diberikan kepada tamu yang dianggap paling terhormat. Bila sang tamu bersedia menari maka mereka pun mulai menari berpasang-pasangan. Tiap pasang berhadapan pada jarak dekat tetapi tidak saling bersentuhan. Dalam beberapa lagu ada pasangan yang menari saling membelakangi. Kalau kebetulan tempatnya luas, ada beberapa penari berputar-putar membentuk lingkaran. Selesai menari, para tamu pengibing memberikan imbalan berupa uang kepada penari cokek yang melayani. Lumayan, dalam semalam tiap penari cokek bisa mengumpulkan uang yang cukup banyak jumlahnya. Bisa dibelanjakan barang-barang kebutuhan pribadi seperti pakaian, sepatu, sandal atau apa saja menurut kesenangan mereka.

Fungsi ekonomi

Dari sisi ini bisa ditafsirkan bahwa jenis tarian Cokek menyandang fungsi ekonomi. Para Wayang Cokek selain mendapat imbalan berupa uang dari penanggap juga mendapat tip dari para lelaki yang berhasil digaet ngibing bersama. Dulu boleh dibilang para seniwati Cokek mendapat penghasilan ajeg karena seringnya ditanggap. Beda dengan masa kini dimana jenis kesenian Cokek kurang mendapat pasaran. Di zaman teknologi modern, generasi baru Betawi di kota mau pun pinggiran merasa lebih senang menanggap musik Orgen tunggal yang menampilkan penyanyi dangdut berbusana seronok. Kemajuan dan pergeseran zaman memang sulit dicegah. Sekarang orang lebih suka memilih hiburan yang serba instan di depan layar televisi. Barangkali agar jenis kesenian Cokek tidak punah, hendaknya lembaga pemerintah daerah yang menangani jenis kesenian Betawi melakukan tindakan preventif pembinaan yang cukup gencar dan terus menerus.

Barangkali bisa menjadi contoh soal, sejak dahulu kala atau mungkin hingga sekarang penari Cokek tampil santun mengenakan busana yang menutup seluruh badan. Biasanya penari cokek memakai baju kurung dan celana panjang serta selendang melingkar dililitkan dibagian pinggang. Kedua ujung selendang yang panjang menjulur ke bawah. Fungsi selendang selain untuk menari juga bisa untuk menggaet tamu laki-laki untuk menari bersama. Keindahan busana itu pun tampak gemerlap terbuat dari kain sutera atau saten berwarna ngejreng banget, merah menyala, hijau, kuning dan ungu, temaram mengkilap berkilauan jika tertimpa cahaya lampu patromaks

Unsur hias pun terdapat di bagian kepala Wayang Cokek (sebutan bagi penari cokek). Dimaksud agar tampak lebih cantik dan indah jika kepala digoyang-goyangkan kekiri dan kekanan. Rambutnya tersisir rapi ke belakang. Ada lagi yang dikepang disanggulkan dengan tusuk konde jaran goyang seperti rias pengantin Jawa. Ditambah hiasan dari benang wol dikepang atau dirajut yang menurut istilah setempat disebut burung hong.

Hidup enggan-mati ogah

Dari berbagai sumber yang dapat dipercaya, tari Cokek pada zaman dahulu dibina dan dikembangkan oleh tuan-tuan tanah Cina yang kaya rata. Jauh sebelum Perang Dunia ke II meletus tari Cokek dan musik Gambang Kromong dimiliki cukong-cukong golongan Cina peranakan. Bisa dilihat dari lagu yang iramanya mirip lagu dari negerinya konglomerat Liem Swi Liong. Cukong-cukong peranakan Cina itulah yang membiayai kehidupan para seniman penari Cokek dan Gambang Kromong. Bahkan ada pula yang menyediakan perumahan untuk tempat tinggal khusus mereka. Di zaman merdeka seperti sekarang ini, tidak ada lagi yang secara tetap menjamin kehidupan dan kesejahteraan mereka. Ibaratnya seperti anak ayam yang kehilangan induknya. Walau pun sejak kurun waktu belakangan ini telah berdiri kantor Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Propinsi DKI Jakarta, namun cara pembinaannya masih belum maksimal. Sehingga kesenian Cokek sekarang sepertinya berada di ujung tanduk, hidup enggan mati pun ogah. (Tjok Hendro) www.tamanismailmarzuki.com

Gado-gado makanan khas betawi


Gado-gado
Gado-gado, hidangan populer yang diduga keras merupakan sajian asli Jakarta, juga berkemungkinan merupakan fusi antara kuliner Jawa dan Tionghoa yang hadir dalam setting kota besar. Bukan tidak mungkin gado-gado merupakan adaptasi nyonya-nyonya Tionghoa terhadap pecel yang khas Jawa.

Secara umum kita mengenal dua versi gado-gado, yaitu gado-gado rakyat dan gado-gado orang kaya. Versi rakyat biasanya dijajakan dengan kereta dorong atau mangkal di ujung gang. Versi ini justru lebih kaya variasi sayur yang
digunakan: tauge, kol, nangka muda, pare, jagung, tahu, tempe, dan lain-lain. Bumbunya di-uleg langsung from scratch untuk setiap pesanan.

Gado-gado versi "priyayi" biasanya memakai telur rebus, emping goreng, dan bumbunya dibuat dari kacang mede - bukan kacang tanah. Harganya tentu saja jauh lebih mahal. Bahkan ada versi gado-gado yang lebih menonjolkan ciri peranakan dan disebut dengan nama rujak pengantin.

sumber : budayabetawi.net